Blogroll

Kamis, 26 April 2012

Restumu, Ibu ...

Malam semakin larut. Jingga di langit pun perlahan memudar diterpa kegelapan. Ku tenggok jam ditanganku, jarumnya menunjuk pukul tujuh malam. Hawa dingin mulai merasuk dan rasa letih tubuh ini membuatku mengantuk. Sepanjang perjalanan dari kampus sampai rumah terasa begitu melelahkan. Sesekali lonceng pengamen di lampu merah membuatku sedikit terhibur. Melihat mereka, membuatku membuka hati untuk bersyukur pada Tuhan Sang Pemberi Kehidupan, setidaknya aku lebih beruntung dari pada mereka.
            Kembali ku tengok jarum jam di tanganku. Jarumnya kini menunjuk pukul delapan lebih lima belas menit. Ku hela nafas letih tubuh ini, kembali aku bersyukur pada Tuhan karena aku pulang dengan selamat sampai rumah. Suasana depan rumah sudah sepi. Ku pikir ibu sudah tidur karena kecapekan seharian kerja di pasar.
            “Kkklllaak” pintu utama rumahku terbuka sebelum aku membukanya.
            “Ibu?” sapaku kaget. “Ibu belum tidur?” tambahku.
            “Sekarang jam berapa?” tanya ibu dengan nada datar. Aku hanya diam tertunduk tak berani menjawab. “Rinda, kemana saja jam segini baru pulang? Ibu lihat sudah  lebih dari seminggu ini kamu pulang malam. Apa yang kamu lakukan di luar sana? Kamu itu perempuan. Kamu  masih bisa mikir kan?” ujar ibu dengan wajah yang masih datar. Ku rasa ibu sedang marah malam ini. Aku tak berani menjawab. Hanya terdiam dan tertunduk takut.
            “Maaf, Bu. Rinda banyak tugas di kampus. Jadi pulangnya malam terus.”
“Seberapa banyak tugasmu hingga kamu lupa waktu? Ibu memang tidak pernah kuliah, tapi setahu ibu, kuliah itu tidak membuat mahasiswanya lupa pada lingkungannya. Tugas kuliah pun  tidak sampai memakan waktu berminggu-minggu dan bermalam-malam. Ibu rasa kamu sudah mulai menjauh dari lingkungan. Bahkan kamu sudah lupa pada Ibu. Siapa temanmu? Beritahu ibu siapa yang membuatmu lupa pada ibumu ini? Yang membuatmu lupa pada waktu!” ibu memegang erat pundakku. Menghentakkan tubuhku. Aku hanya bisa terdiam.
            Air mata ini tak mampu tertahan. Inginku jelaskan pada ibu tentang apa yang aku lakukan di luar sana, tapi aku semakin takut kalau ibu marah. Hingga pilihan diam pun aku ambil agar ibu tidak semakin menjadi. Ku tahu ibu pasti marah besar jika tahu kegiatanku. Rasa letih dan lelah tubuh ini membuat kepalaku kian pening.
“Bu, maafin Rinda. Di kampus Rinda banyak tugas sehingga pulangnya malam terus. Rinda capek, Bu. Rinda izin tidur.” Aku lalu pergi ke kamar meninggalkan ibu yang tengah marah padaku.
            “Rinda, ibu belum selesai bicara. Rinda . . . Rinda . . .” ku abaikan panggilan ibu. Segera aku masuk kamar.
Aku terdiam merenungi kata-kata ibu. Inginku pejamkan mata untuk mengistirahatkan hati dan pikiran, tapi sulit. Ku tengok jarum jam di sudut kamarku, jarumnya menujuk pukul sepuluh malam. Perkataan ibu tak bisa aku lupakan. Aku pun bangun dari pembaringan dan mencari dimana ibu. Rasa bersalah ini terus mengejarku untuk segera menceritakan apa yang aku lakukan di luar sana. Tak ingin ibu semakin berpersepsi negatif padaku.
Ku cari ibu di ruang tamu, tak ada. Di dapur, tak ada. Ku lihat lampu kamar ibu masih manyala. Ku buka pintu kamarnya, ternyata terkunci. Terbesit di benakku, mungkin ibu sudah tidur. Mungkin ia tadi menangis hingga membuatnya tidur dengan tak sadar. Betapa bersalahnya aku yang tidak terbuka dengan kegiatanku. Semua ini karena Ibu tidak mengizinkanku menjadi seorang aktivis. ###
Fajar telah menyingsing. Ayam-ayam tetanggaku sudah ramai berkokok. Sejuk hawa embun pun mulai terasa. Damai, sejuk, menyegarkan pikiran, membuatku mudah untuk merangkai semangat baru. Hari ini acara terjadwal padat sehingga semangat perjuangan harus segera di-charge. Masih ada segudang kegiatan yang belum terlaksana di buku agendaku.
Setelah selesai siap-siap pergi ke kampus, aku sapa ibu yang tengah memasak di dapur.
“Bu, Rinda berangkat dulu. Ada tugas yang belum Rinda kerjakan sehingga pagi ini harus berangkat lebih awal”
“Tugas! Tugas! Dan tugas. Berangkat pagi, pulang malem. Untuk mengerjakan tugas. Tugas mahasiswa itu apa, Nda? Jangan bohongi ibu, kalau kamu sudah tidak serius kuliah, ibu akan berhenti membiayai kamu. Buat apa ibu susah payah kerja banting tulang hanya demi kamu. Tapi kamu lupa sama ibu. Lupa sama pengorbanan ibu. Tak hanya tugas sebagai mahasiswa saja yang harus kamu laksanakan. Tugas sebagi anak pun tidak boleh kamu lupakan, Nda. Kamu itu masih anak ibu. Hargai ibumu ini!” air mata ibu menetes. Tak kuasa aku melihatya. Segera ku peluk ibu, aku pun menangis dalam pelukannya.
“Bu, maafin Rinda yang tak pernah cerita tentang kegiatan Rinda di kampus, Bu. Rinda tidak bermaksud melupakan ibu atau tidak menghormati ibu. Semua ini Rinda lakukan karena ibu pernah melarang Rinda untuk menjadi aktivis.”
“Maksud kamu apa? Jadi selamanya ini kamu membohongi ibu?”
“Bukan begitu bu, Rinda sama sekali tidak berniat membohongi ibu. Perkataan ibu waktu itu membuatku takut bila harus cerita tentang kegiatan kampus yang Rinda lakukan. Sedangkan hati dan pikiranku menginginkan untuk melakukan itu, bu. Bu, izinkan Rinda menjadi aktivis, memperjuangkan nasib masa depan.”
“Maksud kamu apa, nak? Ibu semakin tidak mengerti. Aktivis apa? Kenapa kamu yang harus memperjuangkan? Apa yang kamu  lakukan di kampus? Ibu memang marah, karena kamu sudah jauh dari ibu!” Air mata ibu terus mengalir, jatuh ke pipi keriputnya. Semakin membuatku tak tega dan air mataku pun tak mampu ku tahan. Terus terjatuh.
Ku hela nafas ini dalam-dalam. Segarnya embun masih bisa ku rasakan meski rasa sakit di hati ini terus merajut. Betapa bersalahnya aku yang sudah membuat ibu menangis.
“Bu, nasib jurusan yang kini Rinda jalani tengah diambang keprihatinan. Para sarjana lulusan Pendidikan Administrasi Perkantoran, jurusan yang kini Rinda ambil baru-baru ini ditolak mendaftar CPNS.” Aku semakin sesenggukan menceritakan apa yang kini tengah menjadi masalah di kampusku. Aku memeluk ibu dan ku ceritakan semuanya. Mulai dari cerita-cerita para alumni sampai langkah yang kini sudah terjalani. Perjuangan para aktivis yang lain demi masa depan lulusan P ADP. Ibu pun ikut menangis mendengar ceritaku. Dia peluk tubuhku hingga sesenggukan ini mereda.
“Rinda, maafin ibu juga yang telah berburuk sangka padamu. Ibu hanya ingin kamu terbuka dengan kegiatanmu. Ibu akan selalu ada untuk menyemangatimu, nak. Berjuanglah anakku, ibu merestuimu menjadi aktivis demi masa depan. Doa ibu, semoga kamu urusanmu segera selesai, sukses seperti apa yang kamu dan kawan-kawanmu harapkan.” Ibu menghapus airmataku, mengecup keningku. Hangat peluknya masih ku rasa. Aku tersenyum, ku peluk ibu sekali lagi, dan ku bisikkan di telinganya, “Terima kasih, bu”. # # #

Wahyu Setyaningsih,
(WSn Sinar Senja)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar